Jumat, 04 Maret 2016

Review Jiwa Bahagia


Judul               : Jiwa Bahagia

Pengarang       : Sigit Risat

Halaman         : xii + 118 halaman

Tahun terbit    : cetakan pertama, 2015

Penerbit          : Transmedia

ISBN                 : 978-602-1036-23-5

 


Jiwa…

Adalah diri yang bersemayam dalam tubuh. Tak bisa terlihat, tetapi bisa dirasakan. Bisa merana, bisa pula bahagia. Ya, kebahagiaanlah yang dicari oleh manusia. Apapun agama, profesi, jenis kelamin, atau latar belakang, kita punya kesempatan yang sama untuk bahagia (cover belakang).

 

Dari judulnya, pembaca langsung tahu bahwa isi dari buku tersebut untuk tujuan apa “cara menentramkan dan membahagiakan jiwa”. Buku dengan cover putih ini, membawa saya untuk memandang sesuatu dari sudut pandang lain. Sehingga saat membacanya, berulangkali saya introspeksi diri dan menganggukkan kepala tanda setuju dengan pemikiran yang dituliskan oleh Sigit Risat.

 

Di halaman pertama, penulis mengulas tentang ikhlas menjalani takdir. Pernah nggak membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain? Kenapa mereka mudah mendapatkan sesuatu tetapi kita harus berjuang mati-matian? Kenapa mereka bahagia melewati hari-hari tetapi kita dirundung sedih karena masalah tiap hari tidak ada habisnya? Dalam bahasa Jawanya sawang sinawang.

 

Tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini, semua terjadi karena Tuhan mengizinkan itu terjadi. Jika Tuhan tidak menginginkan terjadi, tentu tidak akan terjadi (hal 7). Membaca kalimat itu, saya sadar sepenuhnya bahwa Allah yang mengatur semuanya, tidak kurang satu apapun. Sebahagia atau sesedih apapun, kita hanya lakon saja. Wajib menjalaninya dengan baik.

 

Kita tidak bisa mengubah takdir, tetapi kita bisa mengubah cara pandang kita pada takdir.

 

Orang yang mengeluarkan pikiran positif akan mengaktifkan dunia sekitarnya secara positif dan kembali kepadanya dengan hasil yang positif (Hal 9). Dal bab yang diberi judul “The Pygmalion Effect, penulis ingin menyampaikan kepada pembaca untuk selalu berpikir positif , karena apa yang dibayangkan di alam pikiran seseorang, secara otomatis akan bermetamorfosis menjadi perasasan dan tindakan.

 

Selanjutnya, ayah dari 3 orang putri ini juga mengupas tentang syukur dan maknanya. Bagaimana rasa syukur dapat menjadikan jiwa lebih bahagia. Memprovokasi agar pembaca jatuh cinta setiap hari, karena menurutnya, hal tersebut dapat mebuat jiwa bahagia, termasuk dalam beribadah. Jika setiap hal dilakukan dengan cinta, maka hal itu akan maksimal.

 

Setiap bab yang ditulis dalam buku ini memberikan pengetahuan pembaca bagaimana untuk membuat jiwa lebih bahagia. Dan menurut saya pribadi, ada bab yang menyentuh saya, yaitu “yang tertinggi adalah yang terendah”. Penulis menceritakan tentang sosok Charlie Chaplin, sosok penting pada era film bisu. Dalam bab tersebut juga diceritakan saat Charli Chaplin mengirimkan surat kepada putrinya yang bernama Geraldine.

 

“Geraldine, jadilah kau pemeran bintang namun jika kau mendengar pujian para pemirsa dan kau mencium harum memabukkan bunga-bunga yang dikirim untukmu, waspadailah… “ (Hal 64).

 

Itulah penggalan surat Chaplin untuk putrinya. Banyak sekali artis yang glamour dengan hingar bingar pujian, “nampak” bahagia tetapi jiwanya sepi dan kosong. Tidak sedikit dari mereka yang lari ke narkoba dan bahkan bunuh diri. Apa yang salah dari fenomena itu? Kecantikan, harta dan pamor telah dimilikinya tapi kenapa masih saja mencari “kebahagiaan fana” yang lain?

 

Mengambil quote yang pernah saya tuliskan di posting sebelumnya, “Semakin mencari, semakin kamu tidak menemukan. Kadang apa yang kamu butuhkan ada di sekelilingmu. Kamu hanya perlu bilang “cukup” untuk beberapa hal. Yes, it’s enough! Be thanks full to Allah, Alhamdulillah.

 

Dear All, yang sedang butuh buku pencerahan jiwa, motivasi dan isnpirasi, this book is highly recommended! Setidaknya hati kita menjadi kaya.

 

Ciptakan muara bahagiamu sendiri, yang disaat ada si iri dan si pencaci meludah kepadamu, ragamu mungkin sakit, tetapi jiwamu tetap utuh :)

 

Postingan ini juga saya posted di akun Moeslema saya disini J

 

Kamis, 20 Agustus 2015

REVIEW 16 : CRITICAL ELEVEN

Judul : CRITICAL ELEVEN


Author : Ika Natassa


Tahun terbit : 2015


Halaman : 344 hal


Penerbit : Gramedia


 


Entah sejak kapan saya mencintai buku-buku Ika Natassa, bahasanya ringan dan informatif. Ia bisa membawa pembacanya untuk ikut larut dalam cerita dan penokohannya sangat detail.


Ale dan Anya dipertemukan dalam pertemukan yang tidak disengaja di pesawat. Obrolan yang berlangsung beberapa jam sangat membekas diantara keduanya. Aldebaran Risjad, seorang engineering, yang berliburan ke Sydney, terkesima saat Tanya Baskoro membantu seorang kakek mengangkat koper saat di bandara.


Ale dan Anya akhirnya berpacaran dan menikah. Bandara menjadi tempat yang bersejarah buat Anya, karena disanalah ia menemukan belahan yang dicintainya sekaligus dibencinya. Anya yang dulunya sangat merasa dicintai oleh Ale, sekarang benar-benar membenci dan ingin melupakan Ale.




Ale dan Anya beberapa kali harus melakukan LDR-an karena pekerjaan Ale sebagai teknisi pengeboran minyak di New York. Saat libur 1 bulan, Ale mamanfaatkan waktunya untuk quality time bersama istri dan keluarga besarnya. Daaaan, for your information, si Ale ini adalah kakak kandung Harris Risjad, ahaha. Remember? Di novel ini juga dibahas sedikit tentang Harris yang akhirnya (akan) bertunangan sama Keara—cintanya Harris di Antologi Rasa.


Pernikahan tidak selalu berjalan mulus, pasti akan ada kerikil-kerikil sebagai ujian agar setiap pasangan lulus. Dalam rumah tangga Anya dan Ale pun demikian. Pernikahan mereka guncang sejak baby boy mereka—Adian meninggal.


Di tengah kesedihan tersebut, Ale melakukan kekhilafan yang harus dibayar dengan mahal, dimana sejak saat itu Anya sangat membenci dia. Hebatnya, keduanya bisa menyembunyikan konflik tersebut dari kedua keluarga besar. Mereka bersikap biasa dan wajar, saat berkumpul dengan keluarga.


Hanya Papanya Ale yang peka dengan kondisi rumah tangga Ale yang bermasalah dan menasehati Ale untuk tetap bersabar membujuk Anya agar mau menerimanya kembali. Ale hampir frustasi meminta maaf kepada Anya yang tetap dingin. Akhirnya, saat moment ulang tahun Ale, Anya disuruh untuk pura-pura minggat dari rumah oleh Harris—ini skrnario Harris untuk memberikan surprise untuk Ale.


Ale pias saat mengetahui Anya mengemas baju dan pergi. Ia mencari kemana-mana. Saat Harris menyuruhnya untuk datang ke suatu tempat, disana telah lengkap keluarga besar dan adik-adiknya untuk memberikan kejutan ulang tahun. Ale mencari Anya di seluruh ruangan tetap tidak ada, ia hanya diam dan tidak bertanya apapun kepada keluarganya karena merek tidak tahu mengenai konflik yang dialaminya.


Di pertengahan acara, Anya hadir dan mengucapkan selamat kepada Ale. Ale baru saja tahu kalau minggatnya Anya hanya skenario, tetapi hal tersebut benar-benar membuatnya blingsatan. Di acara tersebut, Anya mencoba bersikap biasa, foto-foto, membaur dengan yang lainnya.


Cinta selalu memiliki caranya untuk kembali. Ika Natassa mengemas konflik dengan sangat apik. Adegan sex antara Ale dan Anya-pun disajikan secara menawan dan tidak berlebihan. Bagaimana Ale bisa meyakinkan Anya untuk kembali ke pelukannya? Dan kalian penggemar Metropop, wajib baca ini.


Tidak hanya itu, Ika Natassa mampu menjual buku cantik yang bertaburan angka 11 ini sebanyak 1111 dalam waktu 11 menit doang. Brengseque banget ya pinternya :*

Kamis, 21 Mei 2015

Review 15 : Mata yang Enak Dipandang

Novel ini berisi 15 cerpen terbaik karangan Ahmad Tohari. Meskipun saya sulit membedakan mana yang paling baik diantara 15 tersebut, karena menurut saya hampir semua karangan dari Ahmad Tohari sangat menawan. Bahasanya yang enak dan biasanyanya karangan beliau diangkat dari kejadian sehari-hari masyarakat (kecil).
Contohanya, mata yang enak dipandang, sebagaimana dari judul buku ini. Cerita ini bertutur mengenai pengemis di sekitar stasiun—Mirta dan Tarsa. Mirta yang buta biasanya dituntun oleh Tirsa untuk meminta di gerbong-gerbong. Penulis menceritakan realita kehidupan bahwa ada beberapa mata yang enak dipandang yang direpresentasikan oleh penumpang yang selalu memberikan uang kepada pengemis dengan wajah yang cerah. Ada juga yang pura-pura tidak melihat. Ciamik bahasanya.
Kedua, Bila Jebris ada di Rumah Kami. Bercerita tentang Jebris yang digambarkan sebagai seorang pelacur karena kondisi ekonomi yang menghimpitnya. Sar, yang menjadi temannya sejak berada di sekolah rakyat merasa iba padanya. Sering kali Sar membawakan rantang makan untuk Jebris. Sar mengeluhkan tabiat Jebris yang mulai menjajakan diri di rumah yang letaknya dekat dengan Sar. Sar mengeluh kepada Kang Ratib, karena ia merasa was-was bersebelahan dengan Jebris, takut jauh dari keberkahan.
Cerita penipu yang keempat semakin meneguhkan keyakinan saya bahwa Penulis sangat jeli dan detail mengamati keadaan sekitar. Seorang penipu yang dapat menjelma menjadi siapa saja, sehingga membuat kita tidak dapat membedakan apakah itu sungguhan atau pura-pura. Perempuan yang nampak sholeh mengetuk pintu rumah, membawa kertas  dan menceritakan bahwa ia sedang mencari sumbangan untuk amal. Di sisi lain, ada juga yang mengaku tersesat di jalan dan kehabisan uang, meminta beberapa lembar uang untuk ongkos pulang. Lalu apakah mereka sungguhan? Atau benar-benar menipu?
Buku ini ditutup dengan cerpen yang berjudul “Bulan Kuning sudah Tenggelam”. Ceritanya lebih panjang dari judul-judul sebelumnya. Penulis menggambarkan konflik sosial dengan penokohan kuat. Yuning yang merupakan anak angkat dari pasangan ningrat yang tidak dikaruniai anak. Meskipun begitu, ayah dan ibunya sangat mencintai dan menyekolahkannya hingga perguruan tinggi. Konflik dimulai, saat Yuning menikah dengan Koswara. Ayahnya meminta Yuning dan suaminya untuk tetap tinggal bersamanya. Namun, Koswara menolak dengan dalih ingin mandiri dan mengurus peternakan babinya. Bagaimana akhir konflik Yuning dan Ayahnya? Kalian bisa membaca runutan ceritanya hingga tersihir oleh diksi yang dirangkai Penulis.
Two thumbs up!

Judul                :  Mata yang Enak Dipandang
Author             : Ahmad Thohari
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Halaman          : 216
ISBN                 : 978 – 602 – 03 -0045-0